“Permisi mbak, Pak Latief nya ada?” ujarku pada salah seorang staff HRD Trans TV.
“Ada, tapi masih sibuk, emang ada perlu apa?” ujar si staff HRD itu.
“Saya mau minta tandatangan dia untuk nilai magang saya, mbak...” ujarku spontan, tanpa mikir panjang.
Dan ternyata si Mbak Deena, staff HRD yang cantik banget itu menunjukkan tampang nggak suka...
“DIA? Kamu bilang apa? DIA? Nggak bisa ya pakai kata yang lebih sopan untuk menyebut atasan saya? BELIAU itu manajer HRD disini!!!” si mbak itu terus nyerocos marah-marah sambil melotot.
Mungkin hingar bingar itu terdengar oleh Pak Latief yang berada di dalam ruangan. Serta merta keluarlah Bapak-bapak ramah, murah senyum, dan tampak sangat berwibawa. Dengan ramah, dia menyapaku:
“Ada apa mbak?” ujarnya padaku.
“Saya mau ketemu sama manajer HRD, Pak Latief”, jawabku.
“Mari, silahkan masuk,” Ia mengajakku masuk ruanggannya.
Mbak Deena yg masih sebel sama aku, bingung karena ternyata atasannya nggak marah sama aku, malah ramah banget.... ;p
Setelah mengutarakan maksudku, urusan pun cepat selesai. Si Bapak yg baik banget sang Manajer HRD itu senyum-senyum aja sambil bilang semoga pengalaman selama di Trans TV bermanfaat buat ku.
***
ILUSTRASI diatas benar-benar pernah terjadi, waktu magang jobtraining di Trans TV. Perbedaan persepsi tentang penggunaan kata antara saya dan salah satu staff HRD disana.
Menurut saya yang notabene anak jurnalistik, berlaku paham egaliter. Kesetaraan. Termasuk dalam penggunaan kata. Menggunakan kata DIA (kata ganti orang ketiga tunggal) itu sudah berlaku lazim, biasa, dan memang begitulah seharusnya (dalam dunia jurnalistik-red).
Sementara menurut si mbak staff HRD itu (yg notabene lulusan London School of PR), penggunaan kata DIA yang kutujukan pada atasannya sangat-sangat tidak sopan, hingga memancing emosinya. Sementara si atasan yang bersangkutan, justru tidak mempermasalahkan hal tersebut.
***
BEBERAPA kali saya dan salah seorang sahabat, mendiskusikan masalah kasta dalam bahasa Indonesia ini. Difikir-fikir, mungkin bahasa Indonesia yang berkasta-kasta ini akibat kita pernah dijajah berabad-abad! Kemudian muncullah jiwa “abdi” (untuk menghaluskan kata “berjiwa pembantu!”, jiwa pribumi yang terjajah oleh KOMPENI-klo kata orang betawi!)
Toh dalam bahasa Inggris misalnya, tidak ada kasta-kasta tersebut. Untuk menunjuk “KAMU” hanya ada satu kata: “YOU”, dan itu berlaku untuk semua, mau yang umurnya lebih tua, atau yang umurnya lebih muda. Untuk mengacu pada kata ganti orang ketiga, berlaku hal yang sama. Hanya menggunakan “He, She”, tidak ada kata lain yang DIANGGAP lebih SOPAN daripada itu.
Kenapa saya tekankan “Dianggap lebih sopan” ? karena memang, sopan atau tidaknya penggunaan kata-kata itu ya tergantung pada anggapan orang yang menggunakan kata-kata itu.
Menurut Anda, kata “DIA” jika saya gunakan untuk menyebut presiden SBY misalnya, bisa saja tidak sopan. Tapi lagi-lagi, dalam dunia jurnalistik, jurstru berlaku sebaliknya.
Karena kita semua sama, maka yang digunakan adalah kata “DIA” atau “IA”. Mana ada berita di koran nulis “BAPAK PRESIDEN SBY”, yang ada juga: “Presiden SBY” atau bahkan sering juga hanya nyebut SBY saja. Toh, tak jadi masalah.
Alasan lain yang menyebabkan kasta-kasta bahasa ini semakin mengakar (menurut saya) adalah karena berpuluh-puluh tahun, kita dipimpin oleh Presiden yang ber-etnis Jawa. Seperti yang kita tahu.... bahasa Jawa memang banyak kasta nya. Banyak aturannya.
Ngomong ini dibilang nggak sopan, ngomong itu juga dibilang nggak sopan. Banyak “tatakrama” yang berlandaskan paham: “sopan-tidak sopan”, “etis-tidak etis”, dan semacamnya.
Kalau yang pernah belajar kewarganegaraan, mungkin pernah dengar, bahwa ETIKA itu tidak berlaku secara umum. Tidak ada aturan bakunya. Tergantung. Ya, tergantung macam-macam (background budaya si pengguna, kasarnya, field of experience, dan frame of refference setiap orang).
Ini artinya, etis atau tidaknya sesuatu, sopan atau tidaknya sesuatu, memang tidak berhak disamaratakan begitu saja. Hal ini harusnya dipahami oleh manusia-manusia Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam budaya.
Ditengah kekayaan budaya yang kita punya, harusnya sikap toleransi dan emphati semakin tinggi, apalagi dalam memahami maupun menilai orang lain.
Janganlah serta merta menilai seseorang itu “sopan atau tidak”! Karena penilaian itu Anda lontarkan atas background budaya Anda, HANYA menggunakan standar pribadi Anda sendiri, dan pemikiran Anda yang sangat dangkal. Cobalah pahami dan mengerti bahwa belum tentu menurut orang lain itu juga berlaku seperti itu...
Oh dunia... betapa Indahnya toleransi dan emphati...
Bekasi, 25 Januari 2008
2 comments:
sepertinya indah kalau sopan santun diajarkan dan dipraktekkan oleh orang tua, bukan anak kecil. Mungkin sama indahnya seperti tuntutan sama rata sama rasa yang disampaikan oleh orang kaya, bukan oleh orang miskin. Meskipun yang sering terjadi sebaliknya. Kadang kita ingin memiliki sesuatu yang kita belum saatnya untuk memilikinya. Kewibawaan, adalah hak para senior karena pengalaman mereka. Kemulyaan, adalah hak orang kaya dan pejabat karena kerja keras mereka. Ya, mungkin bukan siapa atau apa yang salah, tp bagaimana kita mensikapinya. Mungkin bener juga kata m'Elfi ... sama2 sesendok garam akan berbeda jika dimasukkan ke dalam secangkir air atau dimasukkan ke danau, kan ..
Sekedar bahan sharing ...
bener banget, cuma kita yang punya aturan segitu aneh. Waktu kecil, suka aneh kalo ngomong basa sunda "abdi" ke orang tua yang harusnya "sim kuring" malah dicap ga bisa basa sunda. Apalagi kalo ngonong "aing" yah =) mungkin emang mental kita mental terjajah dan terkasta.
Post a Comment