1/30/2008

Suharto Dalam Bingkai Media Massa

Media... oh Media...
kemanakah idealisme mu kini...
Sedih liat media massa yg over actingbgt memberitakan Suharto,
seolah-olah dia adalah pahlawan besar....
Seolah media kita ini lupa,
bahwa jutaan orang telah menjadi korban pembantaian besar-besaran Suharto
saat mau naik tahta duluuuuuu

Berita ttg Suharto di media Nasional,
kontras bgt sama pemberitaan ttg Suharto di media luar...
berita mereka justru lebih menekankan pada "DOSA-DOSA" Suharto
selama berkuasa.

Ironis ya...
btw anyway busway, ini ada link bagus tentang Suharto untuk dibaca:


http://www.moreorless.au.com/killers/suharto.html

smoga bisa jadi bahan "cover both side"
untuk mengimbangi berita media nasional yg berlebihan....

1/28/2008

Kasta Bahasa

“Permisi mbak, Pak Latief nya ada?” ujarku pada salah seorang staff HRD Trans TV.
“Ada, tapi masih sibuk, emang ada perlu apa?” ujar si staff HRD itu.
“Saya mau minta tandatangan dia untuk nilai magang saya, mbak...” ujarku spontan, tanpa mikir panjang.

Dan ternyata si Mbak Deena, staff HRD yang cantik banget itu menunjukkan tampang nggak suka...

“DIA? Kamu bilang apa? DIA? Nggak bisa ya pakai kata yang lebih sopan untuk menyebut atasan saya? BELIAU itu manajer HRD disini!!!” si mbak itu terus nyerocos marah-marah sambil melotot.

Mungkin hingar bingar itu terdengar oleh Pak Latief yang berada di dalam ruangan. Serta merta keluarlah Bapak-bapak ramah, murah senyum, dan tampak sangat berwibawa. Dengan ramah, dia menyapaku:

“Ada apa mbak?” ujarnya padaku.
“Saya mau ketemu sama manajer HRD, Pak Latief”, jawabku.
“Mari, silahkan masuk,” Ia mengajakku masuk ruanggannya.

Mbak Deena yg masih sebel sama aku, bingung karena ternyata atasannya nggak marah sama aku, malah ramah banget.... ;p

Setelah mengutarakan maksudku, urusan pun cepat selesai. Si Bapak yg baik banget sang Manajer HRD itu senyum-senyum aja sambil bilang semoga pengalaman selama di Trans TV bermanfaat buat ku.

***

ILUSTRASI diatas benar-benar pernah terjadi, waktu magang jobtraining di Trans TV. Perbedaan persepsi tentang penggunaan kata antara saya dan salah satu staff HRD disana.

Menurut saya yang notabene anak jurnalistik, berlaku paham egaliter. Kesetaraan. Termasuk dalam penggunaan kata. Menggunakan kata DIA (kata ganti orang ketiga tunggal) itu sudah berlaku lazim, biasa, dan memang begitulah seharusnya (dalam dunia jurnalistik-red).

Sementara menurut si mbak staff HRD itu (yg notabene lulusan London School of PR), penggunaan kata DIA yang kutujukan pada atasannya sangat-sangat tidak sopan, hingga memancing emosinya. Sementara si atasan yang bersangkutan, justru tidak mempermasalahkan hal tersebut.

***

BEBERAPA kali saya dan salah seorang sahabat, mendiskusikan masalah kasta dalam bahasa Indonesia ini. Difikir-fikir, mungkin bahasa Indonesia yang berkasta-kasta ini akibat kita pernah dijajah berabad-abad! Kemudian muncullah jiwa “abdi” (untuk menghaluskan kata “berjiwa pembantu!”, jiwa pribumi yang terjajah oleh KOMPENI-klo kata orang betawi!)

Toh dalam bahasa Inggris misalnya, tidak ada kasta-kasta tersebut. Untuk menunjuk “KAMU” hanya ada satu kata: “YOU”, dan itu berlaku untuk semua, mau yang umurnya lebih tua, atau yang umurnya lebih muda. Untuk mengacu pada kata ganti orang ketiga, berlaku hal yang sama. Hanya menggunakan “He, She”, tidak ada kata lain yang DIANGGAP lebih SOPAN daripada itu.

Kenapa saya tekankan “Dianggap lebih sopan” ? karena memang, sopan atau tidaknya penggunaan kata-kata itu ya tergantung pada anggapan orang yang menggunakan kata-kata itu.

Menurut Anda, kata “DIA” jika saya gunakan untuk menyebut presiden SBY misalnya, bisa saja tidak sopan. Tapi lagi-lagi, dalam dunia jurnalistik, jurstru berlaku sebaliknya.

Karena kita semua sama, maka yang digunakan adalah kata “DIA” atau “IA”. Mana ada berita di koran nulis “BAPAK PRESIDEN SBY”, yang ada juga: “Presiden SBY” atau bahkan sering juga hanya nyebut SBY saja. Toh, tak jadi masalah.

Alasan lain yang menyebabkan kasta-kasta bahasa ini semakin mengakar (menurut saya) adalah karena berpuluh-puluh tahun, kita dipimpin oleh Presiden yang ber-etnis Jawa. Seperti yang kita tahu.... bahasa Jawa memang banyak kasta nya. Banyak aturannya.

Ngomong ini dibilang nggak sopan, ngomong itu juga dibilang nggak sopan. Banyak “tatakrama” yang berlandaskan paham: “sopan-tidak sopan”, “etis-tidak etis”, dan semacamnya.

Kalau yang pernah belajar kewarganegaraan, mungkin pernah dengar, bahwa ETIKA itu tidak berlaku secara umum. Tidak ada aturan bakunya. Tergantung. Ya, tergantung macam-macam (background budaya si pengguna, kasarnya, field of experience, dan frame of refference setiap orang).

Ini artinya, etis atau tidaknya sesuatu, sopan atau tidaknya sesuatu, memang tidak berhak disamaratakan begitu saja. Hal ini harusnya dipahami oleh manusia-manusia Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam budaya.
Ditengah kekayaan budaya yang kita punya, harusnya sikap toleransi dan emphati semakin tinggi, apalagi dalam memahami maupun menilai orang lain.

Janganlah serta merta menilai seseorang itu “sopan atau tidak”! Karena penilaian itu Anda lontarkan atas background budaya Anda, HANYA menggunakan standar pribadi Anda sendiri, dan pemikiran Anda yang sangat dangkal. Cobalah pahami dan mengerti bahwa belum tentu menurut orang lain itu juga berlaku seperti itu...


Oh dunia... betapa Indahnya toleransi dan emphati...


Bekasi, 25 Januari 2008

1/24/2008

Di Ambang Batas Kematian

SUPRAPTO GAUTAMA duduk termenung di hadapan sebuah cermin. Diamatinya sosok kurus dihadapannya itu. Sosok yang dahulu digemari banyak wanita cantik itu kini tak lagi memancarkan aura ketampanan. Tubuh itu kini hanya memperlihatkan sesosok pria kesepian, yang tak berdaya. Air mata memenuhi wajah tuanya yang telah keriput di sana-sini.

Di luar rumah kontrakannya yang sempit dan tak terawat, angin berhembus kencang, terdengar beberapa ekor kucing bertengkar hebat di halaman rumah.

Prapto mengamati lebih dalam lagi wajahnya di cermin itu. Bayang-bayang masa lalu kembali menghampiri. Saat itu, dirinya belum mencapai sukses sebagai pengusaha. Ia memulai usahanya dari bawah, didampingi seorang istri yang cukup cantik dan penurut. Ingatannya semakin dalam mengenang masa lalunya....

***

PERJALANAN uniknya dimulai saat Ia ingin meminang seorang gadis. Sebagai laki-laki yang berpenghasilan pas-pasan, bahkan terkadang kurang juga untuk kebutuhan dirinya sendiri, Ia percaya bahwa menikah justru akan membukakan pintu rejeki.

Diantara banyak gadis yang menyukainya, Prapto justru memilih gadis biasa dan sederhana. Sekilas, memang tak ada keistimewaan yang dimiliki gadis itu. Namun, satu hal yang membuat Prapto jatuh hati pada gadis itu, yakni karena Ia mempercayai Prapto dan dapat menerimanya sepenuh hati.

Rini Rismawati, nama gadis itu. Dengan mengucap Asma Allah, Prapto menikahinya. Dengan segala resikonya, pasangan itu membina rumah tangga.

Tahun-tahun awal pernikahan mereka diwarnai dengan perihnya perekonomian pasangan muda ini. Meski begitu, sang istri tetap setia mendukung suaminya dengan berbagai cara. Motiviasi-motivasi diberikan tiada henti. Hingga perjuangan tak kenal lelah itu mulai menampakkan hasilnya.

Pepatah berkata: “Di balik lelaki sukses, terdapat perempuan yang hebat.” Lima tahun setelah biduk rumah tangga dikayuh dengan susah payah, perjuangan itu mulai menampakkan hasilnya. Perekonomian mereka kian membaik. Usaha ampelas kayu yang dirintis Prapto mulai berhasil mendatangkan order banyak dari para pengusaha properti. Ya, hanya bermodal ampelas kayu saja, hidup mereka berubah. Pernikahan mereka pun semakin lengkap dengan lahirnya seorang putera. Mereka menamainnya Gaga Pratama.

Layaknya sebuah pohon, semakin tinggi, semakin kencang angin menggoyangnya. Begitu pula Prapto. Seiring semakin tinggi taraf perekonomiannya, semakin banyak pula wanita-wanita cantik yang menggodanya. Meski sudah tak setampan waktu masih bujang, namun sisa-sisa kharisma itu tetap terpancar dari wajah Prapto.

***

DI KAMAR berukuran 3x3 meter itu, Prapto menangis tanpa suara. Namun kepedihannya sangat dalam. Ia mengamati sekeliling. Hanya kosong dan hampa yang dirasanya, disertai kepedihan yang menyayat hatinya, karena Ia pernah menyia-nyiakan nikmat Tuhan untuknya.

Diamatinya sebuah kasur kecil tanpa seprai, sepasang bantal dan guling yang sudah sangat lusuh, serta satu buah lemari baju plastik yang sudah compang-camping dan nyaris roboh. Di atasnya terdapat sebuah bingkai foto keluarga. Prapto, Rini, dan anak mereka yang masih balita, Gaga. Melihat foto itu, semakin sesaklah tangisnya... Terbayang anak semata wayangnya yang kini mungkin sudah tumbuh menjadi pemuda tampan, seperti dirinya waktu muda dulu. Jiwanya pun berkelana kembali pada masa-masa kelam itu...

***

“Maafkan aku, aku tak kuasa menahan hasrat ini. Dari pada aku berzinah, tolong, izinkan aku menikahinya,” ujar Prapto pada istri yang telah bertahun-tahun setia padanya.

Ya, Prapto meminta izin pada istrinya untuk berpoligami. Bagai sambaran petir di siang bolong, sang istri hanya bisa menangis terisak-isak, tanpa mengerti apa yang menjadi jalan fikir suami yang telah bertahun-tahun hidup dengannya itu. Anak semata wayang mereka yang baru berusia dua tahun, dipeluknya erat-erat. Tetesan air mata sang ibu pun membasahi wajah mungil tanpa dosa itu.

“Apa salahku? Apa kekuranganku? Apakah aku pernah meninggalkanmu meski disaat-saat tersulit dalam hidupmu sekalipun?” Rini akhirnya menjawab dengan tetap terisak.

Prapto hanya terdiam. Ia tidak mengeluarkan jawaban atas pertanyaan istrinya itu.

“Baiklah, kau boleh menikah dengannya, tapi aku akan pergi dari hidupmu, dan anak ini akan ikut bersamaku. Tak perlu kamu mengurusi kami lagi. Kamu tak akan pernah mendengar kabar kami. Silahkan kau bersenang-senang dengan wanita baru mu. Aku tak sudi kau madu!” Ujar Rini dramatis.

Serta merta kemudian, Rini segera membawa beberapa potong pakaiannya, juga pakaian dan barang-barang kebutuhan si kecil. Tanpa berusaha mencegah sedikitpun, Prapto hanya duduk termenung menyaksikan kepergian anak dan istrinya.

Kehidupannya setelah itu, tidak begitu menyenangkan. Setelah pernikahannya yang kedua, perlahan tapi pasti, omset usahanya kian menurun, kemudian tiba juga saat kebangkrutannya. Seluruh harta yang Ia punya, habis untuk membayar hutang. Dan bisa ditebak, istri kedua yang dinikahi Prapto saat Ia sedang kaya raya pun, serta merta menginggalkan dirinya begitu saja. Ya, memang, sudah tak ada lagi yang bisa diharapkan dari diri yang tak setia dengan anak istrinya terdahulu itu.

***

LAMUNAN Prapto buyar dihancurkan oleh suara gelegar petir yang disertai hujan kencang. Dengan sisa tenaga yang Ia miliki, segera ia keluar kamar, mengambil ember dan baskom, dan menaruhnya di beberapa titik dirumah kontrakannya. Sudah menjadi kegiatan rutin bagi Prapto, menaruh ember dan baskom di titik-titik bocor rumah kontrakannya ketika hujan turun.
Setelah selesai merapikan ember dan baskom, ia kembali duduk termenung. Dari dalam, pindah keluar rumahnya. Sengaja Ia melamun di bawah guyuran hujan deras berangin kencang, serta petir yang bersahut-sahutan tiada henti.

Seolah ingin menghukum tubuh rentanya itu, Prapto pasrah. Ia bersujud dibawah guyuran hujan, dan memohon maaf kepada Tuhan, kepada anak serta istri yang telah Ia sia-siakan, dan hingga kini tak bisa Ia temukan, meski hanya untuk meminta sebuah kata maaf. Ia menyesali kebodohannya waktu itu. Ia kembali menangis terisak, dan kali ini air matanya berbaur ditelan air hujan yang deras membasahi wajah tuanya yang kuyu.

Sedetik kemudian, kilatan petir menyambar tubuh ringkih dihalaman rumah kontrakannya yang tak terawat itu. Di tengah kesendirian dan kepedihannya yang mendalam, ajal menjemputnya.

***

ESOK harinya, muncul berita singkat di salah satu Harian Nasional:
“SUPRAPTO Gautama (50), warga RT 05/08 Kecamatan Jati Asih Bekasi, ditemukan tewas di halaman rumahnya, pada Rabu (07/11) sore hari. Diduga Ia meninggal karena disambar petir. Jenazah di bawa warga setempat ke RSCM untuk diautopsi. Hingga berita ini diturunkan, tidak ada satupun keluarga korban yang menjemput jenazahnya. Warga sekitar juga tidak mengetahui asal-usul pria itu. Oleh warga sekitar tempat tinggalnya, jenazah dimakamkan di TPU yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.” (ER)

***

DI salah satu sudut Jakarta, seorang wanita membaca berita di koran tersebut sambil terisak. Anak laki-lakinya, menghampiri ibunya dan bertanya ada apakah gerangan. Sang ibu menceritakan kisah yang bertahun-tahun Ia sembunyikan dari anak satu-satunya itu. Kemudian Ia menunjukkan berita di koran harian itu.

Sejurus kemudian, sang anak pun menangis terisak-isak. Kerinduannya akan sosok seorang ayah yang bertahun-tahun Ia dambakan, tiba-tiba memuncak tak terbendung. Sosok sang ayah yang selama ini Ia ketahui telah meninggal dunia, hanya ia saksikan penggambarannya dalam sebuah berita singkat. “Meninggal di usia 50 tahun, tanpa keluarga di sisinya”.

Ibu dan anak itu menangis bersama dalam pelukan penuh air mata. Kemudian mereka memutuskan untuk menengok jenazah suami dan ayah mereka ke tempat peristirahatan terakhirnya.


Bekasi, 23 Januari 2008