7/24/2009

Memanusiakan Anak

Memanusiakan Anak


Oleh: Elfira Rosa Juningsih


Anak-anak bagaikan malaikat kecil. Mereka bisa membuat siapapun yang berada di dekatnya menjadi gembira. Keceriaan mereka adalah kebahagiaan kita. Mereka polos, naif, tak berdosa. Akan seperti apa mereka nantinya, kitalah yang berperan untuk mengarahkannya sejak dini.


Akhir-akhir ini kekerasan terhadap anak-anak semakin marak tejadi di sekitar kita. Menurut Ketua Komnas Anak, Seto Mulyadi, berdasarkan catatan Komnas Anak, kasus kekerasan terhadap anak pada 2004 mencapai 500 kasus, sementara pada 2005, mencapai 736 kasus, dan sampai Mei ini sudah tercatat 300 kasus. Kekerasan tersebut meliputi kekerasan fisik, psikologis, seksual, serta ekonomi.


Ibarat fenomena gunung es, angka tersebut tentunya jauh lebih kecil dibanding kasus real yang terjadi, karena tidak semua pihak yang mengalami kekerasan anak ini melaporkan kasusnya ke Komnas Anak. Budaya masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa mendidik anak adalah urusan pribadi orang tuanya, mengakibatkan “orang luar” yang mengetahui adanya kekerasan terhadap anak, sering kali merasa enggan mencampuri urusan keluarga tersebut. Dengan dalih untuk mendidik anak, orang tua sering merasa bertindak benar dengan menjewer, memukul, memaki, dan menghina anaknya.


Siti Ihtiatun Soleha (8). Gadis kecil warga Sunter (Jakarta Utara) yang biasa dipanggil Tia itu, dua kaki dan tangan kanannya telah disetrika oleh ayah kandungnya sendiri, Muhammad Juhandi alias Wandi (34). Bayangkan, anak sekecil itu disetrika. Jangankan anak kecil, kita pun jika tak sengaja terkena setrika panas akan merasakan sakit yang luar biasa. Tak hanya itu, Tia pun disundut dengan rokok, ditampar, di pukul dengan tali tambang jemuran.

Di Cilincing, Jakarta Utara, Eka, bocah perempuan berumur tujuh tahun, tewas dicekik ibu tirinya. Gadis mungil bernasib tragis itu menemui ajal akibat kekerasan di dalam rumahnya sendiri. Tak hanya dicekik, sebelum kematiannya, Eka diperkosa paman tirinya (Republika, 4 Januari 2006).

Kasus Raju, yang berawal dari perkelahian antar anak kecil dan sempat meramaikan media

massa

. Proses persidangan dan penyatuan tempat tahanan dengan orang dewasa (meskipun hanya beberapa jam), menuai kecaman dari berbagai pihak.

Peristiwa perkosaan di

Malang

- saat hari terakhir kampanye pemilu 1977- adalah contoh yang penting disimak. Pada saat orang- orang berkampanye keliling

kota

, empat pemuda justru “sambil menyelam minum air”. Mereka menggunakan sepeda motor, mencoba mengajak dua gadis SMP keliling

kota

. Sepulang kampenye, dua gadis yang diboncenginya, justru “diboncengi” hingga ke dalam kamar kost.

Ada

sembilan mahasiswa turut andil menjadikan dua gadis itu sebagai “piala bergilir”.

Kejadian di Jambi tak kalah sadis. Seorang ayah tiri membantai dua anaknya yang berusia sepuluh dan delapan tahun, hingga kepalanya lepas dari badan.

Peristiwa yang tak kalah kontroversial di Bekasi, seorang bapak kandung tega menjual anaknya (12) hanya senilai empat puluh ribu rupiah. Tragisnya, sebelum dijual, anak itu “digarap” dulu olehnya. Di depan mucikari, sang bapak dengan enteng mengatakan bahwa anak tersebut ketemu di jalan. Tidak lagi gadis, tapi juga bukan janda. Astaghfirullah!

Kasus terbaru terjadi di Tanggerang, gadis berumur 13 tahun diperkosa, digilir 13 pemuda. Selain itu, keluarga salah satu pelaku yang konon, keluarga TNI (aparat-red), mengancam korban dan keluarganya, dan memaksa agar tuntutan di kantor polisi dicabut (karena takut, keluarga korban bahkan tak segan-segan meminta perlindungan wartawan KOMPAS).

Kekerasan terhadap anak bisa dilakukan kapan pun ,dan oleh siapapun. Berdasarkan identifikasi kasus-kasusnya, KTA (kekerasan terhadap anak) terjadi dalam lingkup rumah tangga (domestic violence), kekerasan dalam komunitas (community violence), dan kekerasan yang berbasis pada kebijakan/tindakan negara (state violence). Dalam tahun 2005, KTA terjadi pada semua lokus: rumah tangga, komunitas, dan negara. Komunitas termasuk sekolah, lingkungan, dan tempat pendidikan anak. Dalam lokus kekerasan negara termasuk kekerasan yang diderita anak dalam situasi krisis, kerusuhan, konflik sosial, konflik militer, dan kebijakan dalam bencana alam tsunami (Republika, 13 Januari 2006).

Terry E. Lawson, psikiater internasional, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.

Emotional abuse terjadi ketika orang tua atau pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ibu yang membiarkan anaknya kelaparan karena tak mau diganggu, atau tak mau menyusui anaknya dengan ASI karena alasan kecantikan, mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk dan dilindungi, bisa digolongkan dalam kategori ini.

Verbal abuse terjadi ketika orang tua atau pengasuh dan pelindung anak, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk diam atau jangan menangis. Hal ini sering tampak di sekitar kita, dimana orang tua menyuruh anak untuk diam dan jangan menangis, seringkali hal itu dilakukan dengan membentak. Tak jarang, makian itu ditambahi dengan kata-kata sepeti “cengeng”, “bodoh”, “nakal”, dan sebagainya.

Physical abuse, terjadi ketika orang tua atau pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian).

Sexual abuse biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak.


Anak Juga Manusia


Anak tak selayaknya menerima perlakuan kasar dari siapapun. Kekerasan yang dilakukan secara periodik akan diingat oleh mereka dan bisa menimbulkan trauma yang mendalam, bahkan juga gangguan psikologis.

Banyak orang tua mendidik anak dengan menggunakan kekerasan, agar anak disiplin. Namun tanpa mereka sadari, bukannya mengajarkan disiplin, mereka justru mengajarkan kekerasan pada anak mereka.

Pada dasarnya anak-anak adalah peniru ulung. Jika mereka selalu diperlakukan dengan kekerasan, maka suatu saat nanti jika mereka berhadapan dengan situasi yang sama, maka merekapun akan menggunakan kekerasan sebagai pemecahan masalah. Bagaikan “rantai setan” yang tak terputus, situasi ini akan terus berlangsung secara turun menurun. Setiap generasi akan melakukan hal yang sama untuk merespon kondisi yang menekannya. Hal ini terus berlangsung dan pada akhirnya menjadi budaya tersendiri, “budaya kekerasan.”

Dengan menerima perlakuan buruk dari lingkungannya, anak-anak bisa menjadi tidak percaya diri, menarik diri dari lingkungan, kepribadiannya tidak berkembang dengan baik, bahkan ia bisa menjadi pemberontak. Belum lagi, kemungkinan ia akan melakukan hal yang sama-kekerasan- kepada anaknya kelak

Banyak yang membedakan antara manusia dengan binatang. Parbedaan yang paling mendasar adalah pada otak, pikiran, akal budi.

Ada

pepatah yang mengatakan bahwa harimau tak akan memangsa anaknya sendiri. Dilihat dari kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di

Indonesia

, banyak orang tua justru “memakan” anak sendiri.

Kodrat manusia yang paling istimewa adalah potensi manusiawinya atau humanitasnya, yaitu kemampuan nalar dan kedalaman rohaninya. Manusia mengenal nilai-nilai. Manusia tak hanya membutuhkan makanan jasmani, tetapi juga rohani. Manusia yang tak membutuhkan makanan rohani, tak layak mengakui dirinya sebagai manusia. Manusia yang tak menyadari bahwa anaknya tidak hanya membutuhkan kasih sayang secara materi (makanan jasmani), tapi juga kasih sayang untuk makanan rohaninya, tidak layak disebut manusia!

Seorang anak adalah investasi masa depan. Ia akan tumbuh menjadi manusia utuh, manusia dewasa yang baik, jika dididik dengan benar dan penuh kasih sayang, bukannya dengan kekerasan dan kebrutalan.

Manusia bisa sangat sadis dalam melakukan kejahatan. Bahkan sering kali tidak merasa bersalah. Mutu manusia yang begitu rendah biasanya berawal dari nafsu ataupun kebencian. Kebencian itu lama kelamaan menjadi dendam kesumat. Ibarat pohon, kebencian yang ditanam sedemikian lama akan tumbuh menjadi pohon besar yang kuat, dan ketika tumbang, akan meluluhlantahkan yang dibencinya itu.




Anak Bukan Milik Orang Tua


Anak akan tumbuh sesuai didikan. Kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang sering terjadi, seringkali mengorbankan masa depan anak. Tidak hanya itu, dengan merusak masa depan anak, berarti kita telah merusak masa depan bangsa. Dengan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, maka kita akan membangun fondasi masa depan bangsa untuk mencetak manusia-manusia unggul di masa depan.

Sejak dini, anak harus diajarkan pendidikan “sex” (yang masih dianggap tabu oleh sebagian besar orang tua) agar tak terjerumus dan agar tak menjadi korban pelecehan seksual. Bangun keterbukaan dengan anak. Jadilah tempat mereka mencurahkan isi hatinya. Ajarkan anak agar tak mudah percaya dengan orang lain. Tanamkan nilai-nilai kebenaran pada anak dengan kasih sayang, bukan dengan kekerasan. Beri tahu mana yang benar, mana yang salah. Ajari anak berkata “tidak” dan membela diri jika memang ia benar.

Keluarga seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak, bukan menjadi momok. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan saling mengasihi satu sama lain.

Anak tak pernah ingin dilahirkan. Mereka lahir ke dunia ini sebagai buah cinta kedua orang tuanya. Sudah sepantasnya kita mengasihi dan menyayangi mereka, dan mendidiknya dengan baik, bukannya malah “menghancurkan” mereka.

Anak bukanlah milik orang tua, melainkan titipan Sang Pencipta. Perlakukan anak sebagai manusia utuh. Hingga nanti, saat titipan itu diminta kembali oleh Sang Pencipta, kita dapat “menyerahkannya” dengan bangga dan tersenyum, bahwa titipan itu telah menjadi manusia unggul, baik jasmani maupun rohani.


Met Hari Anak, sori Telat ;p (niatnya mo di revisi dulu, tapi tnyt mood gw gak ngedukung.. jadi gini aja dech ;p)



NOTE:
diambil dari arsip blog milik sendiri
http://jaket-biru.blog.friendster.com/2006/07/

postingan tahun 2006, smoga masih relevan dibaca di 2009 :p

2 comments:

Kang Nandang said...

Itulih kondisi kita sekarang, kita sebagai orang tua harus menjaga extra ketat agar anak tidak jadi korban pelecehan sexual, korban kejahatan , korban lelaki dll, sekali lagi BE CAREFUL.. dan jangan lupa minta perlindungan Allah...

Tapi omong2.. fira dah punya anak belon...! he..100x.
ku tunggu undangan...!

Elfira Rosa said...

hahaha...pak nandang.. doakan sajjahhhh :p